Sabtu, 10 Juli 2010

HEMOGLOBIN LENGKAP

Senin, 11 Mei 2009
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, oleh karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin yang berkurang. Anemia defisiensi besi ini adalah anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi (Bakta dkk.,2006).
Dalam kasus skenario satu diceritakan Samson, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dengan keluhan pucat, dibawa ke dokter. Hasil anamnesis dengan ibunya, sejak 2 bulan yang lalu mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual, sering tertidur di kelas dan susah makan. Sejak kecil Samson memang tidak suka makan daging. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 8,0 g/dL. Kemudian dokter memberikan tablet tambah darah untuk Samson (Tim Blok Hematologi,2009).
Berdasarkan kasus di atas, penulis merasa permasalahan tersebut perlu dijelaskan tentang korelasi antara keluhan-keluhan yang dialami Samson dengan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang akhirnya mengarahkan pada diagnosis suatu penyakit tertentu.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah laporan ini adalah:
1. Bagaimana fisiologi sel darah merah meliputi morfologi dan fungsi, pembentukan sel darah merah, dan sintesis unsur sel darah merah?
2. Bagaimana metabolisme besi dan kompartemen besi di dalam tubuh?
3. Bagaimana etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan komplikasi dari anemia defisiensi besi?
4. Apa saja dasar penegakkan diagnosis dan tata laksana anemia defisiensi besi?
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan laporan ini diharapkan mahasiswa :
5. Mengetahui fisiologi sel darah merah meliputi morfologi dan fungsi, pembentukan sel darah merah, dan sintesis unsur sel darah merah.
6. Mengetahui metabolisme besi dan kompartemen besi di dalam tubuh.
7. Mengetahui etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan komplikasi dari anemia defisiensi besi.
8. Mengetahui dasar penegakkan diagnosis dan tata laksana anemia defisiensi besi.
MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan laporan ini diharapkan mahasiswa :
Dapat mendiagnosis pasien anemia khususnya defisiensi besi secara cermat dan tepat.
Dapat melakukan penatalaksanaan pada pasien anemia defisiensi besi secara profesional.
HIPOTESIS
Berdasarkan keluhan yang khas, hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, adanya kemungkinan bahwa Samson menderita anemia defisiensi besi.



























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI SEL DARAH MERAH
1. Morfologi dan Fungsi
Sel darah merah adalah salah satu komponen darah yang menempati 42-45 % volume darah 5 hingga 5,5 liter pada orang dewasa. Persentase volume darah total yang ditempati oleh sel darah merah dikenal sebagai hematokrit. Sel darah merah berbentuk bulat bikonkaf, berwarna merah, tidak memiliki nukleus dan organel-organel, tetapi dipenuhi oleh hemglobin, yaitu molekul yang mengandung besi yang dapat berikatan dengan O2 secara longgar dan reversibel. Karena O2 sukar larut dalam darah, hemoglobin merupakan satu-satunya pengangkut O2 dalam darah. Hemoglobin juga berperan dalam transportasi CO2 dan sebagai penyangga darah dengan berikatan secara reversibel dengan CO2 dan H+. Namun CO2 yang berikatan dengan Hb dalam jumlah yang sedikit, sedangkan sebagian besar CO2 larut dalam plasma sebagai ion HCO3- dengan bantuan katalisator karbonat anhidrase yang terdapat dalam sel darah merah matang (Sadikin,2002; Sheerwood,2001). Berikut reaksi kimia pengikatan dan pelepasan O2 serta CO2 (Sadikin,2002):
Hb + O2 ═ HbO2
deoksihemoglobin oksihemoglobin
Hb + CO2 → HbCO2
Karbomino
CO2 + H2O → H2CO3 → H+ + HCO3-
karbonat anhidrase karbonat anhidrase ion bikarbonat
2. Pembentukan (Eritropoiesis)
Sel darah merah tidak memiliki nukleus, oleh karena itu sel ini tidak dapat mensintesis DNA untuk membentuk protein yang digunakan dalam pertumbuhan, pembelahan dan perbaikan sel. Maka dari itu sel darah merah hanya mampu bertahan rata-rata 120 hari dengan hanya berbekal sedikit zat-zat yang disintesis sebelum nukleus dan organel-organel dikeluarkan pada fase pembentukan sel darah merah/eritropoiesis di dalam sumsum tulang merah (Baldy,2006). Produksi sel darah merah oleh sumsum tulang merah dalam keadaan normal seimbang dengan kecepatan lenyapnya sel darah merah yang sudah tua dalam organ limpa dan hati, sehingga hitung sel darh merah konstan. Eritropoiesis dirangsang oleh eritopoietin, hormon yang dikeluarkan ginjal sebagai respon terhadap peningkatan kapasitas mengangkut O2 oleh sel darah merah akibat kebutuhan O2 oleh jaringan yang semakin meningkat atau kurang teroksigenisasinya suatu jaringan. Berikut gambaran proses eritropoiesis dan kontrol umpan balik negatif (Sacher dan Richard,2004; Sheerwood,2001):
Eritropoiesis :
Sel Bakal Pluripoten → Sel Bakal Mieloid → BFU-E (burst forming unit erythroid) → CFU-E (colony forming unit erythroid) → Proeritroblas → Basofilik Eritroblas → Polikromatofilik Eritroblas → Ortokromatofilik Eritroblas → Retikulosit → Eritrosit (sel darah merah)
Kontol umpan balik negatif :
Kebutuhan jaringan akan O2 → Peningkatan kapasitas mengangkut O2 → Ginjal mensekresi eritropoietin → Eritropoiesis meningkat di sumsum tulang → Produk sel darah merah meningkat → Oksigenisasi jaringan terpenuhi → Ginjal menurunkan jumlah sekresi eritropoietin.
3. Pembentukan Hemoglobin
Hemoglobin terdiri dari kompleks senyawa globin-hem. Hemoglobin secara fisiologis ada 2 macam yaitu HbA dan HbF. HbA adalah hemoglobin yang terdapat pada orang dewasa, sebaliknya HbF terdapat pada janin. Berikut perbedaan kedua jenis hemoglobin (Sadikin,2002) dan proses pembentukan hemoglobin (Guyton,1997):
HbA
HbA1
HbA2
Jenis Globin
2 Globin α
2 Globin γ
2 Globin α
2 Globin β
2 Globin α
2 Globin δ
Afinitas dalam mengikat O2
Sangat kuat

kuat
Pembentukan Hemoglobin :
2 suksinil ko-A + 2 asam amino glisin → Pirol
4 Pirol → protoporfirin IX
Protoporfirin IX + Fe 2+ → Porfirin/ Heme
Heme + Polipeptida/Globin α β γ δ → Rantai Hb α/β/ γ/δ
2 Rantai α + 2 Rantai β → HbA1
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin selama beberapa hari berikutnya.Skema di atas menunjukkan tahap dasar kimiawi pemebentukan hemoglobin (Guyton,1997).
KOMPARTEMEN DAN METABOLISME BESI
4. Kompartemen Besi
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa : (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk suatu senyawa dan berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi kurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dan berfungsi untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen yang lain. Dalam keadaan normal seorang laki-laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kg BB dan pada wanita dewasa adalah 35 mg/kg BB (Bakta dkk.,2006).
Kompartemen Besi Dalam Tubuh Seorang Laki-laki Dengan BB 75 kg
Senyawa Besi Fungsional
Hemoglobin 2300 mg
Mioglobin 320 mg
Enzim-enzim (sitokrom, katalase) 80 mg
Senyawa Besi Transportasi
Transferin 3 mg
Senyawa Besi Cadangan
Feritin 700 mg
Hemosiderin 300 mg
Total
3803 mg
5. Metabolisme Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Besi jenis heme yang diperoleh dari hewani sangat mudah untuk diabsorpsi, sebaliknya besi jenis non-heme yang berasal dari sayuran kurang mudah diabsorpsi karena memiliki faktor pemacu (faktor daging, vitamin C) dan penghambat (Serat, Tanat, Phytat). Proses absorpsi besi menjadi 3 fase (Bakta dkk.,2006; Sacher dan Richard,2004):
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif.
c. Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi.
Berikut bagan yang menjelaskan metabolisme besi di dalam tubuh :

Bilirubin(diekskresi) Jaringan
Feritin hemosiderin
Makrofag Heme, Enzim
Hemoglobin diuraikan
besi bebas

Hemoglobin transferin- Fe Plasma
Sel Darah Merah

Kehilangan darah-(0,7 Fe++ yang diabsorbsi Fe yang diekskresi – 0,6 mg
Mg Fe /hari pada mens) (usus halus) per hari

ANEMIA DEFISIENSI BESI
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi berkurang yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Secara morfologis, bentuk sel darah merah anemia defisiensi besi adalah anemia hipokromik mikrositer. Berdasarkan bentuk dan warna sel darah merah, anemia terbagi menjadi 3 yaitu (Bakta,2006):
Anemia hipokromik mikrositer, terbagi atas : anemia defisiensi besi, thalassemia major, anemia akibat penyakit kronik, anemia sideroblastik.
Anemia normokromik normositer, terbagi atas : anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik, anemia hemolitik didapat, anemia akibat penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik, anemia pada keganasan hematologik.
Anemia makrositer, terbagi atas :
a) Bentuk megaloblastik : anemia defisiensi asam folat & anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik : anemia pada penyakit hati kronik, anremia pada hipotiroidisme, anemia pada sindrom mielodisplastik.
Etiologi ADB
Penyebab anemia defisiensi besi sebagai berikut (Aster,2007; Mansjoer dkk.,2002);
a. Kehilangan besi akibat pendarahan menahun.
b. Faktor nutrisi: akibat kurangnya besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik.
c. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui
d. Gangguan absorbsi besi: gasektomi, tropical sprure, atau colitis kronik.
e. Infeksi cacing tambang.
2. Patogenesis
Pendarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun keadaan ini disebut iron depleted state. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila terus terjadi maka akan mempengaruhi bentuk eritrosit. Pada fase ini besi cadangan kosong, saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat keadaan ini disebut iron deficiency eritropoiesis. Apabila jumlah besi terus menurun maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia (Bakta dkk.,2006).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang khas pada anemia defisiensi besi (Bakta dkk.,2006; Mansjoer dkk.,2002) :
a. Koilonychia : kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
b. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang
c. Stomatitis angularis
d. Disfagia: nyeri menelan
e. Atrofi mukosa gester
f. Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,seperti tanah liat, es, lem, dan lain-lain
4. Diagnosis
a. Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, misal konjuctiva dan pemeriksaan kuku.
b. Pemeriksaan Penunjang : Anemia Hipokromik mikrositer pada apusan darah, atau MCV <80>350mg/dl, Saturasi transferin< 15%, Feritin serum<20 μg/L (Bakta dkk.,2006).
5. Diagnosis Banding
Keterangan
ADB
Anemia Penyakit Kronik
Trait Thalassemia
Anemia Sideroblastik
Derajat anemia
ringan sampai berat
Ringan
ringan
ringan sampai berat
MCV
menurun
menurun/N
menurun
menurun/N
MCH
menurun
menurun/N
menurun
menurun/N
Besi Serum
menurun <30
menurun <50
normal/↑
normal/↑
TIBC
meningkat >360
menurun <300
normal/↓
normal/↓
Saturasi Transferin
menurun <15%
menurun/N 10-20%
meningkat >20%
meningkat >20%
Besi Sumsum Tulang
Negative
Positif
positif kuat
positif dengan ring sideroblast
Protoporfirin Eritrosit
meningkat
meningkat
normal
normal
Feritin Serum
menurun <20 μg/l
normal 20-200 μg/l
meningkat >50 μg/l
meningkat >50 μg/l
Elektroforesis Hb.
N
N
Hb. A2 meningkat
N
6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah :
a. Terapi kausal adalah terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement therapy).
Terapi Besi Oral. Karena besi dalam bentuk fero paling mudah diabsorbsi, maka preparat besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam fero seperti fero sulfat,fero glukonat, fero fumarat,fero laktat,dan fero suksinat.
Preparat
Tablet
Elemen besi tiap tablet
Dosis lazim untuk dewasa (∑ tablet/hari)
Fero sulfat (hidrat)
325 mg
65 mg
3-4
Fero glukonat
325 mg
36 mg
3-4
Fero fumarat
200 mg
66 mg
3-4
Fero fumarat
325 mg
106 mg
2-3
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalai intoleransi,sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.
Pengobatan besi diberikan 3-6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi, seperti hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang, kacang-kacangan, dan buah-buahan tertentu (Bakta dkk.,2006; Dewoto dan S. Wardhini,2007).
Terapi Besi Parenteral. Penggunaan sediaan untuk suntikan IM dalam dan IV hanya dibenarkan bila pemberian oral tidak mungkin; misalnya pasien bersifat intoleran terhadap sediaan oral, atau pemberian oral tidak menimbulkan respons terapeutik. Iron-dextran(imferon) mengandung 50 mg Fe setiap mL (larutan 5%)untuk penggunaan IM atau IV. Dosis total yang diperlukan dihitung berdasarkan beratnya anemia,yaitu 250 mg Fe untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada hari pertama disuntikkan 50 mg,dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari atau beberapa hari sekali. Penyuntikkan dilakukan pada kuadran atas luar m. gluteus dan secara dalam untuk menghindari pewarnaan kulit. Preparat suntikan lainnya yaitu Iron-sucrose dan Iron sodium gluconate (Dewoto dan S. Wardhini,2007).
7. Prognosis
Kemungkinan penderita untuk sembuh dari penyakit ini sangat besar jika penderita melakukan terapi secara rutin dan menjaga asupan gizi makanannya secara benar.
BAB III
PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI ISTILAH DALAM SKENARIO SATU
6. Bising jantung : Thriil jantung, sensasi getaran yang dirasakan pemeriksa pada saat palpasi, hal ini disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat pada suatu kondisi tertentu.
7. Konjungtiva : Membran halus yang melapisi kelopak mata dan melapisi permukaan sklera yang terpajan.
8. Hepatomegali : Pembesaran organ hati
9. Splenomegali : Pembesaran organ limpa
10. Tablet tambah darah: Obat bentuk sediaan tablet yang diberikan kepada pen-derita anemia yang berfungsi menambah masukan besi, asam folat, dan atau vitamin B12 .
(Dorland,2002)
B. PENYELESAIAN KASUS SKENARIO SATU
Dari gejala fisik dan hasil pemeriksaan fisik serta laboratorium yang dialami oleh pasien dalam skenario, yaitu pucat terutama terlihat pada konjungtiva, perut mual, susah makan, tidak suka makan daging, sering mengantuk, didapatkan bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali maupun splenomegali, dan kadar Hb 8,0 g/dL, maka dapat dipastikan menderita anemia defisiensi besi. Anemia dapat ditegakkan dengan pasti dari gejala konjuctiva pucat, sering mengantuk (lemah, lesu), susah makan (disfagia) dan kadar Hb 8,0 g/dL (normal Hb anak-anak 11,2 – 16,25 g/dL). Defisiensi besi kemungkinan besar dari kebiasaan pasien yang tidak suka makan daging, padahal daging merupakan bahan makanan yang banyak mengandung besi jenis heme yang memiliki bioavaibilitas absorpsi yang tinggi di duodenum.
Patogenesis dari masing-masing gejala dapat dijelaskan sebagai berikut. Pucat, keadaan ini umumnya diakibatkan berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin (dalam ikatan HbO2 memberikan warna merah), dan vasokontriksi pembuluh darah untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital.
Bising jantung, suara yang disebabkan peningkatan kecepatan aliran darah, di mana keadaan ini mencerminkan beban kerja jantung dan curah jantung yang meningkat. Peningkatan kerja jantung ini merupakan bentuk kompensasi tubuh dalam keadaan hipoksia (kekurangan oksigen). Bila hal ini berlanjut otot jantung tidak dapat lagi beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat dan akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.
Sering mengantuk adalah keadaan yang disebabkan keadaan tubuh yang lemah, lesu, mudah capai. Hal ini dikarenakan otot-otot pada jaringan tidak teroksigenasi dengan baik, sehingga ketika tubuh membutuh energi (ATP) untuk beraktivitas, maka otot-otot akan melakukan metabolisme untuk menghasilkan ATP dalam keadaan an-aerob. Konsekuensi dari metabolisme an-aerob adalah terbentuknya asam laktat. Penumpukan asam laktat inilah yang menyebabkan mudah capai, lelah, dan lesu.
Perut mual disebabkan sel parietal lapisan mukosa lambung tidak teroksigenisasi dengan baik untuk perkembangan sel, akhirnya terjadilah atrofi mukosa lambung, kemudian keadaan yang atrofi ini menyebabkan tidak berproduksinya asam lambung atau istilahnya akhlorhidria. Defisiensi asam lambung ini menyebabkan makanan tidak tercena dengan baik, padahal asam lambung ini berperan dalam mengubah bolus menjadi kismus (kismus bentuk makanan yang siap untuk diabsorpsi di usus). Makanan yang tidak tercerna dengan baik maka akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan dengan perantara perasaan mual, lebih-lebih protein yang sangat membutuhkan pH asam dalam siklus cernanya.
Susah makan disebabkan disfagia (nyeri ketika menelan makanan) dan stomatitis angularis (radang mukosa mulut yang meluas). Disfagia ini disebabkan terbentuknya jaringan mukosa di antara faring dan esofagus. Keadaan ini diperburuk dengan atrofi papil lidah akibat tidak teroksigenisasinya sel pada papil-papil lidah akibatnya dengan papil lidah yang atrofi, sensasi rasa makanan semakin berkurang. Disfagia, stomatitis angularis, dan atrofi lidah ini merupakan gejala umum dari semua jenis anemia.
Demam yang tidak terlalu tinggi kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi kronik karena anemia defisiensi besi sangat rentan terkena infeksi. Sebenarnya demam ini merupakan respon sistem imun tubuh dalam menanggapi penginfeksi. Dalam keadaan suhu tubuh di atas normal merupakan kondisi yang sangat mendukung sel darah putih (leukosit) dalam melaksanakan tugas fisiologisnya yaitu sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi mikroorganisme.
Tidak suka makan daging merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masukan/ intake besi tidak adekuat, sehingga jika hal ini berlanjut akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Selain itu usia pasien dalam skenario yaitu 5 tahun, merupakan masa-masa yang sangat membutuhkan masukan besi dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan. Kemungkinan juga anemia defisiensi besi yang berlanjut ini diperparah dengan adanya malabsopsi besi di duodenum. Kembali lagi pada atrofi mukosa lambung yang menyebabkan menurunnya produksi asam lambung, ternyata asam lambung ini juga berperan pendukung dalam absorpsi besi di duodenum dalam bentuk fero (Fe2+) dan konversi Fe3+ (bentuk umum besi dalam makanan) menjadi Fe2+ .
Tidak didapatkan hepatomegali dan splenomegali berarti organ hati dan limpa dalam keadaan normal, karena keadaan pembesaran organ ini merupakan gejala khas dari anemia hemolitik.
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi tidak hanya dengan melihat gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan kadar Hb saja. Sebenarnya setelah ini perlu dilakukan pemastian pada pemeriksaan apusan darah untuk morfologi sel darah merah, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Besi serum, TIBC, Saturasi transferin, dan Feritin serum sebagai diagnosis banding dengan anemia jenis lain. Hal ini dilakukan supaya penatalaksanaannya tepat sasaran.
Penatalaksanaan pada anemia defisiensi besi adalah pemberian terapi-obat oral dengan dosis tertentu, jika dengan terapi ini tidak kooperatif atau pasien koma maka dapat diberikan terapi-parenteral dengan dosis yang rendah terlebih dahulu dan lamban laun dinaikkan sedikit demi sedikit sampai dosis maksimal. Pada pasien dengan kadar Hb ≤ 3 mg/dl dapat dilakukan transfusi darah.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi berkurang yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Secara morfologis, bentuk sel darah merah anemia defisiensi besi adalah anemia hipokromik mikrositer.
Penyebab anemia defisiensi besi adalah pendarahan menahun, faktor nutrisi, kebutuhan besi meningkat, gangguan absorbsi besi, dan infeksi cacing tambang.
Gejala yang khas pada anemia defisiensi besi adalah koilonychia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gester, dan pica.
Tahapan anemia defisiensi besi adalah iron depleted state, iron deficiency eritropoiesis, dan iron deficiency anemia.
Diagnosis anemia defisiensi besi harus dengan melihat gejala umum dan khas, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium lengkap untuk tata laksana yang baik.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dengan terapi obat oral, terapi obat parenteral, atau transfusi darah.
Prognosis baik jika anemia ini diobati dengan rutin.
B. SARAN
Sebaiknya pada pasien juga dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lengkap untuk menambah keyakinan bahwa pasien tersebut menderita anemia defisiensi besi. Dilakukan terapi yang tepat dan rutin mengingat prognosisnya baik.







DAFTAR PUSTAKA
Aster, Jon.2007.Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Bakta, I Made.2006.Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta : FK UI Press
Bakta, I Made dkk..2006.Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta : FK UI Press
Baldy, Catherine M.2006.Komposisi Darah dan Sistem Makrofag-Monosit dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Dewoto, Hedi R. dan S. Whardhini B.P.2007.Obat Antianemia dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 7. Jakarta:FK UI Press
Guyton, Arthur.1997.Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif ed.dkk.2002.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius
Sacher, Ronald A. dan Richard A. McPherson.2004.Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sadikin, Mohamad.2002.Biokimia Darah.Jakarta:Widya Medika
Sheerwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tim Blok Hematologi.2009.Buku Panduan Blok Hematologi.Surakarta:FK UNS

http://bassopan.blogspot.com/2009/05/bab-i-pendahuluan-latar-belakang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar